Senin, 05 April 2010

keterbatasan UU no. 36 tentang telekomunikasi?????


Menurut Undang-Undang No 36 Tahun 1999, Telekomunikasi adalah setiap pemancaran, pengiriman, dan/atau penerimaan dan setiap informasi dalam bentuk tanda-tanda, isyarat, tulisan, gambar, suara, dan bunyi melalui sistem kawat, optik, radio, atau sistem elektromagnetik lainnya. Dari definisi tersebut, maka Internet dan segala fasilitas yang dimilikinya merupakan salah satu bentuk alat komunikasi karena dapat mengirimkan dan menerima setiap informasi dalam bentuk gambar, suara maupun film dengan sistem elektromagnetik. Penyalahgunaan Internet yang mengganggu ketertiban umum atau pribadi dapat dikenakan sanksi dengan menggunakan Undang-Undang ini, terutama bagi para hacker yang masuk ke sistem jaringan milik orang lain sebagaimana diatur pada Pasal 22, yaitu Setiap orang dilarang melakukan perbuatan tanpa hak, tidak sah, atau memanipulasi:
a) Akses ke jaringan telekomunikasi
b) Akses ke jasa telekomunikasi
c) Akses ke jaringan telekomunikasi khusus
Apabila seseorang melakukan hal tersebut seperti yang pernah terjadi pada website KPU www.kpu.go.id, maka dapat dikenakan Pasal 50 yang berbunyi “Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah)”
Berdasarkan pasal 1 UU No.36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi dan pasal 1 UU No.32 Tahun 2002 tentang Penyiaran , sekilas diketahui 2 jenis pola komunikasi dengan pola pertanggung-jawaban hukum yang berbeda., yakni komunikasi khusus dan komunikasi masa. Kata kuncinya adalah pada kegiatan ”pengiriman dan penerimaan informasi” dan kegiatan ”pemancarluasan informasi yang diterima secara serentak”.
Dalam hal komunikasi privat antar pribadi yang terwujud dalam penyelenggaraan jaringan, kaedah hukumnya adalah bersifat rahasia dan si Penyelenggara berkewajiban menjamin mutu layanan jasanya kepada publik. Sementara dalam hal komunikasi masa yang terwujud dengan adanya penyelenggaraan penyiaran untuk menyebarluaskan informasi kepada publik, kaedah hukumnya adalah pertanggung jawaban terhadap substansi informasi yang disiarkan kepada publik berikut dampaknya .
Akibat konvergensi, menjadi suatu permasalahan manakala suatu Operator/Carrier telekomunikasi ternyata turut melakukan suatu tindakan penyiaran. Padahal kedua kegiatan itu mempunyai izin prinsip yang berbeda. Permasalahan terjadi karena Operator Telekomunikasi merasa tidak bertanggung jawab terhadap substansi informasi (content). Ia merasa hanyalah sekedar fasilitator dalam pengiriman dan penerimaan informasi, tak lain hanya menyediakan ”space” bagi para pihak untuk saling berkomunikasi atau bertukar informasi. Ia tidak merasa sebagaimana layaknya lembaga penyiaran yang harus bertanggungjawab terhadap substansi informasi berikut dampaknya kepada publik. Hal itu sepenuhnya adalah tanggung-jawab pihak pemasok lagu yang dalam hal ini adalah perusahaan rekaman atas lagu tersebut.
Operator telekomunikasi hanya merasa bertanggung jawab terhadap terjaminnya keutuhan pengiriman informasi sebagaimana adanya dari si pengirim kepada si penerima informasi, bukan tanggung jawab isi. Hal ini tidaklah tepat, karena ia sesungguhnya tetap bertanggung jawab terhadap content, hanya saja dalam UU Telekomunikasi yang diwajibkan adalah menjaga kerahasiaan informasi tersebut. Namun, manakala ia membuat suatu informasi menjadi dapat diakses oleh publik maka dengan sendirinya Operator tidak dapat melepaskan diri dari suatu tindakan penyiaran karena telah membuat informasi menjadi dapat diakses baik secara individual maupun secara bersama-sama oleh publik, dalam hal ini adalah pengguna jaringan telekomunikasi. Oleh karena itu, ia harus menerima konsekwensi hukumnya yakni harus bertanggungjawab terhadap penggunaan substansi informasi itu berikut dampak hukumnya.
Sesuai pasal 2 UU Telekomunikasi yang menyatakan asas dan tujuan telekomunikasi adalah berdasarkan asas manfaat, adil dan merata, kepastian hukum, keamanan, kemitraan, etika, dan kepercayaan pada diri sendiri. Dan merujuk pasal 7 ayat (2) UUTel yang menyatakan bahwa Dalam penyelenggaraan telekomunikasi, penyelenggara harus memperhatikan (i) kepentingan dan keamanan negara (ii) mengantisipasi perkembangan teknologi dan tuntutan global, (iii) dilakukan secara profesional dan dapat dipertanggungjawabkan; serta memperhatikan (iv) peran serta masyarakat.
Maka, ukuran profesional dan tanggung jawab operator tidak hanya ditentukan oleh UUTel melainkan juga keberlakuan UUHC dan UUPenyiaran. Oleh karena itu terhadap semua akibat dari penggandaan berikut pengumuman Ciptaan dalam sistem jaringan telekomunikasi adalah menjadi tanggungjawabnya baik secara publik maupun perdata. Sekiranya penyiaran tersebut melanggar Hak Moral dan Hak Ekonomis si Pencipta maka pihak yang mempunyai kontribusi besar dalam pelanggaran tersebut justru sebenarnya adalah si Operator itu sendiri, karena dialah yang menyediakan teknologi komunikasinya dengan menyediakan ”space” dan memungkinkan untuk diakses serta melakukan pemutaran lagu.
Oleh karenanya, Operator selaku penanggung jawab jaringan telekomunikasi selayaknya bersikap hati-hati dan berupaya memperhatikan tidak hanya pemegang Hak Cipta melainkan juga si Penciptanya. Jika tidak hati-hati, maka akibat perjanjian yang belum tentu fair antara Pencipta dan Pemegang Hak Cipta, maka si Operator akan mengalami banyak gugatan. Pemenggalan suatu lagu atau Penyiaran suatu Ciptaan secara tidak utuh dengan dalih keterbatasan ”space” dalam suatu jaringan tidaklah menghilangkan kewajiban untuk meminta izin ataupun kesediaan dari pencipta. Indikasi ada atau tidaknya kesadaran Operator dalam menghargai Ciptaan adalah lewat cara bagaimana mereka mengumumkan nama si pencipta dalam brosur atau web-sites terhadap koleksi-koleksi lagu yang mereka tampilkan. Jika si Pencipta tidak pernah disebut, berarti Operator hanya menghargai Perusahaan Rekaman dan Penyanyi bukan pencipta lagunya.
Akhirnya, harus disadari bahwa dinamika perkembangan teknologi tidaklah dapat dinyatakan sebagai fenomena yang menihilkan keberlakuan hukum, karena sesungguhnya kata-kata tekstual tidak harus dibatasi secara leksikal. Keberadaan hukum bukanlah hanya kata-kata, ia adalah refleksi dari kecerdasan penegak hukumnya dalam mengikuti dinamika masyarakatnya untuk menjawab kebutuhan akan keadilan. Adalah hal yang bijaksana, jika para penegak hukum dan akademisi hukum berkolaborasi untuk melakukan optimalisasi penerapan hukum yang sesuai dengan konteksnya ketimbang membuat pernyataan yang tidak kondusif dengan berdalih ketidakjelasan. Tidak baik bagi masyarakat jika segala sesuatunya dipersepsikan sebagai kevakuman hukum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar